Petugas imigrasi mengembalikan paspor saya dengan senyum ramah sambil berkata "Welcome to Istanbul". Ini pertama kalinya saya memasuki kota Istanbul. Sebelumnya, saya cuma transit beberapa jam di kota ini. Bagi penggemar Sejarah, kota ini dulunya dikenal dengan nama Konstantinopel atau Bizantium. Yang membuat kota ini unik adalah sebagian besar wilayahnya masuk dalam kawasan Asia dan terdapat sedikit bagian Turki yang bernama Trakia Timur (East Thrace) yang masuk dalam kawasan Eropa. Istanbul merupakan salah satu kota yang memiliki beberapa district yang masuk wilayah Eropa Selatan, dan sebagian district lainnya masuk dalam kawasan Asia Barat. Selat Bosphoruslah yang memisahkan wilayah Istanbul mana yang masuk Asia dan mana yang masuk Eropa. Nama Byzantium merupakan nama awal kota ini, yang disematkan saat wilayah ini diduduki oleh Bangsa Yunani. Nama kotanya berubah menjadi Konstantinopel seiring dengan berkuasanya Bangsa Roma di wilayah ini. Malah, Konstantinopel merupakan ibukota Kekaisaran Romawi Timur. Nama Istanbul, baru digunakan setelah Turki resmi menjadi Republik, yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "menuju ke kota". Dan sekian intro sejarah kita untuk tulisan ini, saatnya saya bercerita tentang pengalaman-pengalaman unik dan seru meski juga ada yang kurang menyenangkan selama beberapa hari transit di Istanbul.
Welcome to Istambul |
Mustafa yang emosi
Setelah meninggalkan imigrasi, saya bergegas menuju ke tempat taksi. Menurut petugas bandara, tarif taksi resmi dari bandara menuju ke kawasan sekitar Blue Mosque dan Hagia Sophia adalah sekitar 1000 Lira (setara hampir 500 ribu Rupiah), gak jauhlah dengan tarif taksi biru dari Cibubur ke Bandara Soekarno Hatta kalau lewat tol baru Cimanggis tembus Soetta (tiket tolnya mahal cuy). Saya merogoh dompet ajaib andalan yang selalu saya bawa setiap kali traveling (alah kayak tiap bulan traveling aja), ada uang 1.000 lira plus beberapa puluh Euro sisa perjalanan kemarin. Oh aman, saya tersenyum lega, tidak perlu cari ATM dan bisa langsung berangkat. Nanti bisa menukar lebih banyak Lira saat tiba di hotel.
Perjalanan ke hotel juga cukup lancar. Supir taksi, sebut saja namanya Mustafa (nama disamarkan, red), dengan bahasa Inggris terbata-bata sering melontarkan beberapa pertanyaan standar, yang tentunya saya balas dengan jawaban alakadarnya namun tetap sopan. Saya juga mengonfirmasi ke Mustafa bahwa tarif resmi taksinya adalah 1000 Lira menurut petugas bandara, tarif resmi tersebut diaminkan oleh Mustafa. Perasaan saya langsung adem, gak perlu tarik urat leher saat turun taksi nanti. Mobil mulai melambat saat melewati selat Bosphorus via Jembatan Galata dan berbelok ke Yeni Cami (Yeni Mosque). Saya memandangi Yeni Cami sembari berharap, semoga bisa sholat disini nanti. Taksi mulai melewati jalur yang sempit dan menurut google maps, rute yaang ditempuh masih berada di jalur yang sesuai. Tak lama kemudian, taksi berhenti karena gang yang kami masuki dipalang sehin. Taksi tidak bisa lewat, sementara google menunjukkan bahwa hotel yang saya pesan masih sekitar 300 meter lagi. Namun, apa daya. Saya sudah diminta turun dengan sopan oleh Pak Supir.
Yeni Cami |
Saat akan bayar Mustafa bilang, "It is 1000 lira plus tip". Saya yang memang mau nge-tip si Bapak mengangguk. Saya membuka dompet ajaib dan menemukan beberapa lembar Euro duluan, jadi saya keluarkan uang 5 Euro dari dompet, sambil mencari 1000 Lira (mata uang Turki) yang entah terselip dimana, maklum kantong dalam dompet ajaib banyak tapi isinya alakadarnya. Begitu melihat duit 5 Euro keluar dari dompet, si pak Supir tiba tiba menaikkan suaranya "No, no, that is not......," setelah itu mengomel dalam bahasa Turki. Saya yang masih memeriksa dompet, menghentikan pencarian Lira saya. "What happened?" kata saya. "That money is not enough", kata Mustafa dengan intonasi naik satu oktaf dari intonasi basa basinya tadi, sembari menunjuk ke uang 5 Euro di tangan saya.
Oh saya mengerti, nampaknya Pak Pung Pak Mustafa ini menganggap saya hanya akan memberinya 5 Euro, sedangkan tarif 1000 Lira kalau dikonversi ke Euro menjadi hampir 30 Euro. Dengan elegan saya serahkan duit 5 Euro saya sambil berkata "this is the tip", dan selanjutnya menyerahkan uang 1000 lira yang berhasil saya temukan sambil berkata "and this is for taxi". Mustafa terdiam dua jenak, mimiknya kemudian berubah dari yang muka masam dan menahan amarah menjadi tersenyum sumringah penuh sukacita sambil berkata "Thank you, Sir". Saya yang pengen noyor, membalas dengan senyum "You're welcome", sambil ngedumel dalam hati "Lain kali sabar dulu, jangan langsung ngamuk, Pak Mus".
Saya turun dari taksi sambil menggeret satu koper jumbo, satu koper ukuran kecil di tengah jalan gang yang beralaskan batu berangkal (cobblestone). Tak sampai 5 menit, saya berhasil tiba di hotel. Setelah check in dan rehat sejenak, saya meninggalkan hotel dan mulai menjelajahi daerah sekitar hotel. Ternyata meski berada dalam gang, hotel yang saya tempati cukup strategis dengan lokasi yang terletak di belakang Blue Mosque, salah satu tempat bersejarah kota Istanbul. Sore itu, saya berjalan menyusuri Hagia Sophia dan Blue Mosque yang saling berhadapan. Sempat melongok ke beberapa restoran dan melihat harga setempat. Saya tersenyum kecut, harga di resto ini mirip-mirip dengan harga makanan di Eropa. Ya iyalah, di kawasan wisata, jangan harap dapat makanan bintang lima harga kaki lima.
Senja di Blue Mosque |
Menjelang maghrib, saya yang mengagumi keindahan Blue Mosque dari luar akhirnya bisa menunaikan sholat Maghrib di masjid indah ini. Blue Mosque di saat senja sungguh terasa syahdu, suara azan dan siluet minaret mesjid membuat saya melupakan insiden kecil bersama Mustafa siang tadi. Tesekkurler, Istanbul.
Menyusuri Hagia Sophia Bisa Cuma-cuma
Transit di Istanbul kali ini, saya janjian dengan sepasang suami istri, Yose dan Ulfa yang kebetulan juga sedang transit Istanbul setelah menyelesaikan perjalanan mereka di Barcelona. Terus terang, saya tak sempat bikin itinerary perjalanan, karena saya tahu Ulfa dan Yose sudah punya itinerary sendiri. Untungnya, mereka dengan penuh sukacita menyambut saya ikut dalam perjalanan singkat mereka di Istanbul. Hotel yang saya tempati pun juga rekomendasi mereka, biar lebih enak jalan barengnya kata Yose. Sebagai imbal balik, sayalah yang akan mengambil gambar-gambar mereka selama perjalanan ini. Cukup adil kan? Yang bilang "adil", saya doain jalan-jalan ke Istanbul sekeluarga.
Sultanahmet Square |
Jumat pagi (menjelang siang), kami berencana menyusuri kawasan sejarah Blue Mosque dan Hagia Sophia, yang hanya dipisahkan oleh taman yang bernama Sultanahmet Square. Berhubung sudah pernah sholat di Blue Mosque sehari sebelumnya, kami tak banyak menghabiskan waktu di tempat ini. Kami lebih fokus ingin menikmati Hagia Sophia. .
Menurut sejarah, Hagia Sophia, mulai dibangun hampir lima belas abad yang lalu saat Bizantium (Istanbul) masih dalam kekuasaan Bangsa Roma. Ia difungsikan sebagai katedral dan digadang sebagai katedral terindah pada masanya. Adapun Blue Mosque, dibangun sekitar 4 abad yang lalu saat Islam sudah masuk ke Turki. Ia dibangun sebagai simbol kedigdayaan Islam dan ditujukan untuk menyaingi kemegahan Hagia Sophia. Hasilnya, Istanbul memiliki dua landmark indah yang berhadap-hadapan. Terpujilah Bangsa Roma dan Dinasti Turki Utsmani.
Ternyata untuk bisa masuk dan mengakses Hagia Sophia, pengunjung wajib membayar 25 Euro. Alhamdulillah, sebagai fotografer dadakannya Ulfa dan Yose, saya ditraktir tiket masuk oleh mereka (sujud syukur depan Hagia Sophia). Maka nikmat tiket gratis manakah yang kau dustakan, Kisanak?. Kami memasuki Hagia Sophia dengan penuh decak kagum. Kubah bangunan ini dibuat dengan sangat apik disertai detail dan ornamen yang memanjakan mata.
Hagia Sophia menampilkan perpaduan fitur Islam dan Kristen, yang dimungkinkan karena alih fungsi tempat ini selama beberapa kali di masa lampau. Dari awal berdiri, Hagia Sophia telah difungsikan sebagai katedral dan fungsi sebagai katedral tersebut berlangsung selama lebih dari 1000 tahun. Tak heran jika sejumlah simbol dan lukisan dalam Hagia Sophia menggambarkan fase hidup Yesus dan Bunda Maria. Setelah itu, Hagia Sophia beralih fungsi menjadi Masjid, dan bangunan ini diperkaya dengan beragam kesenian Islam, terutama kaligrafi yang terpatri dan terpampang di berbagai mesjid. Hagia Sophia sempat diubah menjadi museum di awal 1900 an sebelum difungsikan kembali menjadi mesjid pada tahun 2020.
Hagia Sophia from 2nd Floor |
Blue Mosque seen from Hagia Sophia |
Tak terasa, 25 Euro tiket masuk telah selesai kami nikmati. Ternyata, tiket tersebut hanya mengakomodasi lantai 2 Hagia Sophia, tanpa ada akses ke Masjid di lantai 1. Saya, Ulfa dan Yose mengikuti jalur pengunjung dan mengkhatamkan tur Hagia Sophia kami. Saat itu sudah hampir jam 12 siang dan waktu sholat Jumat segera tiba. Kami bertiga telah berada di luar Hagia Sophia dan melihat ada jalur lain masuk ke Hagia Sophia. Ternyata itu adalah jalur masuk untuk umat Muslim yang akan menunaikan sholat Jumat. Tanpa pikir panjang, kami mengikuti jalur tersebut. Saya sempat diberhentikan saat masuk oleh petugas keamanan yang berjaga ketat, mungkin karena tampang kurang meyakinkan dan nampak ragu-ragu. Saat saya bilang saya dari Indonesia, sang petugas tersenyum dan membiarkan saya masuk. Sebelum masuk ke lantai 1 Hagia Sophia untuk sholat Jumat, pengunjung juga harus melalui alat pemindai, untuk memastikan keamanan sholat di Hagia Sophia.
Setelah wudhu, kami memasuki Hagia Sophia lagi. Kali ini dari sisi yang lain, sisi yang yang langsung mengantarkan kami pada tempat ibadahnya. Ada sedikit rasa haru saat pertama kali memasuki tempat sakral ini. Sebelumnya, saya hanya mengetahui Kota Bizantium a.k.a Konstantinopel serta pemerintahan Dinasti Turki Utsmani dari pelajaran Tarikh Islam saat di Madrasah. Meski Hagia Sophia dibangun sebagai Katedral saat Bizantium menjadi ibukota wilayah Romawi Timur, bangunan ini juga menjadi bangunan utama selama Pemerintahak Dinasti Turki Utsmani. Berada dalam bangunan bersejarah ini sudah lumayan membuat terharu, dan sebentar lagi, saya akan menunaikan sholat di tempat bersejarah ini.
Hagia Sophia 1st Floor |
Terdapat sejumlah prosesi yang dilakukan sebelum memasuki sholat Jumat. Dzikir dikumandangkan cukup lama sebelum khutbah Jumat dimulai. Yang membuat saya heran dan kagum adalah khutbah Jumatnya dilakukan dalam tiga bahasa, Turki, Inggris dan Jepang. Saya heran dengan penggunaan bahasa Jepang dalam khutbah sementara saya tak melihat banyak jemaah dari Jepang yang hadir di Hagia Sophia. Nah, yang bikin kagun adalah khatibnya hebat, bisa fasih tiga bahasa. Bahasa Jepangnya pun terdengar seolah disampaikan oleh penutur asli. Yang membuat sholat Jumat ini menjadi lebih spesial adalah kehadiran Presiden Erdogan yang turut menunaikan sholat Jumat. Sholat Jumat berlangsung dengan sangat khidmat, yang dilanjutkan dengan sesi foto-foto yang meriah dari pengunjung Hagia Sophia. Mungkin bisa menunaikan sholat di masjid bersejarah ini adalah wishlist banyak para pengunjung hari itu, termasuk saya.
Post-Friday Prayer Situesyen |
Seandainya di awal hari kami mengetahui bahwa ada jalur Sholat Jumat gratis bagi yang mau beribadah, mungkin kami tak perlu bayar 25 Euro untuk masuk ke Hagia Sophia. Tapi setelah direnungkan, mungkin memang jalannya seperti itu. Kita belajar sejarahnya dulu dengan membayar masuk, baru kemudian beribadah dengan khusyuk secara cuma-cuma.
Setelah sholat Jumat, saya mengikuti langkah Ulfa dan Yose yang mulai keroncongan mencari makan. Kupercayakan destinasi-destinasi berikutnya pada mereka. Maklum, kuota internet saya sudah semaput.
Wah si Mustafa ini keq nya gak sabaran amat, begitu dapet tip langsung sumringah š¬ , canda ya pak Mustafa... hehe,Turki memang selalu menarik buat di kunjungi, dengan bangunan" cantik dan cerita sejarah di baliknya.
BalasHapus